Dibuat oleh : Jesica Maudy (02011381621439)
Tugas mata kuliah : Hukum Konstitusi (B)
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Tugas mata kuliah : Hukum Konstitusi (B)
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Partai politik merupakan saluran aspirasi bagi rakyat
yang penting bagi sebuah Negara. Keberadaan partai politik dalam kehidupan
bernegara adalah suatu keniscayaan utamanya bagi Negara yang demokrasi sebagai
salah satu pilar penting untuk mewujudkan Negara yang madani. Beberapa pakar
mencoba mendefinisikan partai politik di antaranya:
1. Max
Weber
Partai
politik didefinisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa
pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk
mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut.
2. Seilere
Partai
politik adalah organisasi yang bertujuan untuk membentuk opini publik.
3. Duverger
Partai
politik sebagai suatu organisasi yang khas, partai politik di,ihat sebagai
suatu bentuk organisasi yang berbeda dengan organisasi lain.
4. Ranney
dan Kendall
Partai
politik dilihat sebagai ‘autonomos groups that make nominationsand contest elections in the hope of eventually
gaining and exercise controlof the personnel and policies of government (grup
atau kelompok masyarakat yang memiliki tingkat otonomi tinggi untuk mencalonkan
dan terlibat dalam pemilu dengan harapan mendapatkat serta menjalankan control
atas birokrasi dan kebijakan public).
5. Crowe
dan Mayo
Partai
politik adalah institusi yang mengaktifkan dan memobilisasi orang, kepentingan,
menyediakan instrument kompromi dari beragam pendapat, dan memfasilitasi
munculnya seorang pemimpinan.
6. Carl
J. Friedrich
Partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (A political, partai is a group of human beings, stably organized with
the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a
government, with the further objective of going to members of the party,
through such control ideal and material benefits and advantages).[1]
7. Sigmund
Neumann
Partai
politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai
pandangan yang berbeda (A political party
is the articulate organization of society active political agents, those who
are concerned with the control of governmental polity power, and who compate
for popular support with other group of groups holding divergent views).[2]
FUNGSI PARTAI POLITIK
Pelaksanaan
fungsi atau peran partai di masing-masing Negara berbeda-beda tergantung pada
kondisi Negara tersebut. Ciri khas Negara baik ditinjau dari corak
pemerintahan, sistem pemerintahan, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahannya
akan sangat menentukan fungsi partai politik suatu Negara. Di Negara yang
bercorak demokratis partai lebih leluasa menjalankan fungsinya sesuai harkatnya
yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapanan penguasa
atau pemerintah. Sebaliknya di negara yang bercorak otoriter, partai tidak
dapat menunjukkan harkatnya, tetapi lebih banyak menjalankan kehendak penguasa.[3]
Menurut Dwight King, peran utama parpol terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1.
Memberikan
jembatan institutional antara warga negara dan pemerintah.
2.
Menggodok
dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dan
untuk dilaksanakan oleh pemerintah hasil pemilu.
3.
Jalur
bagi proses kaderisasi dan seleksi politis untuk mengisi jabatan publik.
Menurut Gaffar dan Amal dalam kepustakaan Ilmu Politik, parpol mempunyai peranan yaitu:
1.
Dalam
proses pendidikan politik.
2.
Sebagai
sumber rekrutmen para pemimpin bangsa guna mengisi berbagai macam posisi dalam
kehidupan bernegara.
3.
Sebagai
lembaga yang berusaha mewakili kepentingan masyarakat.
4.
Sebagai
penghubung antara penguasa dan rakyat.
Menurut James Rosnau, ada dua peranan penting parpol dalam linkage politik, yaitu:
1.
Sebagai
institusi yang bersifat pentratif (penetrative
linkage/hubungan erat), dalam arti sebagai lembaga yang ikut memainkan
peranan dalam proses pembentukan kebijakan Negara.
2.
Sebagai
“reactive linkage (hubungan
interaksi)”, yaitu lembaga yang melakukan reaksi atas kebujakan yang
dikeluarkan oleh Negara.
Menurut Clark, ada enam model keterkaitan yang diperankan parpol, yaitu:
1.
Participatory Linkage (hubungan partisipan), yaitu ketika partai berperan
sebagai agen di mana warga biasa berpartisipasi dalam politik.
2.
Electoral Linkage (hubungan pemilih), di mana pemimpin partai mengontrol
berbagai elemen dalam proses pemilihan.
3.
Responsive Linkage (hubungan timbal balik), yaitu ketika partai bertindak
sebagai agen untuk meyakini bahwa pejabat pemerintah bertindak responsive
terhadap pemilih.
4.
Clientelistic Linkage (hubungan klien), yaitu pada saat partai bertindak
sebagai sarana memperoleh suara.
5.
Directive Linkage (hubungan petunjuk), yaitu pada saat partai berkuasa
mengontrol tindakan warga.
6.
Organization Linkage (hubungan organisasi), yaitu pada saat terjadi
hubungan antara elit partai dan elit organisasi dapat membolisasi atau
“mengembosi” dukungan suatu parpol.
Parpol baik dalam sistem politik demokrasi maupun sistem politik totaliter, juga melaksanakan sejumlah fungsi lain, yaitu:
1.
Sosialisasi
Politik
2.
Rekrutmen
Politik
3.
Partisipasi
Politik
4.
Pemadu
kepentingan
5.
Komunikasi
Politik
6.
Pengendalian
Konflik
7.
Kontrol
Politik
Menurut Nico Harjanto, fungsi-fungsi utama parpol adalah:
1.
Untuk
menyerap dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat.
2.
Melakukan
pendidikan politik kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban warga Negara dalam
kehidupan bernegara.
3.
Melakukan
rekrutmen politik secara demokratis sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku untuk mengisi jabatan-jabatan public di semua tingkatan pemerintahan.
4.
Memformulasi
dan menetapkan kebijakan umum melalui istitusi legislative dan eksekutif dimana
tingkatan pemerintahan.
5.
Melakukan
pengawasan atas pelaksanaan kebijakan public melalui para kadernya di lembaga legislative.
6.
Menjadi
penengah antara kepentingan/aspirasi rakyat dengan pemerintah beserta
kebijakan-kebijakannya.
7.
Menjadi
alat pengontrol kepentingan pribadi politisi yang duduk sebagai wakil rakyat
maupun pejabat public. Jika tidak ada parpol, maka akan sulit mengelola
kepentingan pribadi dan menjaga akuntabilitas para politisi dan pejabat
politik, yang tentunya memiliki beragam kepentingan yang berbeda.
Kesimpulan dari pembahasan ini, fungsi parpol menurut penulis sendiri berdasarkan penjelasan-penjelasan ilmuwan di atas, yaitu:
1.
Komunikasi
politik.
2.
Perwakilan.
3.
Konvensi,
artikulasi kepentingan, dan agregasi.
4.
Pendidikan
politik.
5.
Integrasi
(partisipasi politik, sosialisasi politik, dan mobilisasi politik).
6.
Persuasi
dan represi.
7.
Kaderisasi.
8.
Rekrutmen
Politik.
9.
Membuat
Pertimbangan, perumusan, kebijakan dan control terhadap pemerintah.
10. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah.
11. Alat pengontrol kepentingan pribadi politisi yang
duduk sebagai wakil rakyat maupun pejabat public.
12. Fungsi dukungan (Supportive
function) atau dapat dirinci sebagai berikut:
1)
Sarana
komunikasi politik; menyalurkan beragam pendapat dan aspirasi serta mengaturnya
supaya kesimpangsiuran berkurang. Disebut juga fungsi interest aggregation dan interest
articulation.
2)
Sarana
sosialisasi politik; proses yang menentukan sikap dan orientasi seseorang
terhadap fenomena politik, regenerasi normal dan nilai, memperjuangkan
kepentingan umum.
3)
Sarana
rekrutment politik; mencarindan mengajak orang berbakat untuk aktif dalam kegiatan
politik sebagai kader, untuk memilih pemimpin.
4)
Untuk
mengelola konflik (conflict management);
karena persaingan dan perbedaan pendapat diasumsikan sebagai hal yang wajar
dalam demokrasi, partai berusaha mengatasi kemungkinan konflik dengan kekerasan.
KLASIFIKASI PARTAI POLITIK
Partai politik senantiasa mengalami perkembangan dari
masa ke masa sejalan dengan demokrasi dan pemerintahan baik secara revolusi
maupun evolusi.
Menurut Puhie, ada enam faktor penting yang mempengaruhi evolusi partai politik yaitu:
1.
The electoral dimension (Dimensi pemilihan)
2.
Theinterests of the party constituency (Kepentingan dari konstituen partai)
3.
Party organization (Organisasi partai)
4.
The party system (System partai)
5.
Policyformulation (Perumusan Kebijakan)
6.
Policy implementation (Implementasi kebijakan)
Sigmun Neumann menjelaskan salah satu tipologi partai berdasarkan struktur para pengikutnya, yaitu: Partai kelas, yang hanya mengarahkan suaranya kepada sebagian khusus saja dari penduduk. Contoh yang paling menonjol dari program kelas, yaitu Manifestasi Komunis, membenarkan pendapatnya dengan mayoritas yang besar sekali dan bahwa kediktatoran proletar akan mengarahkan program ke pembauran semua kelas, dan arena itu ke pembebasan masyarakat secara keseluruhan.
Penggolongan partai politik berdasarkan asas dan orientasi dan partai politik dalam hal ini ada tiga bentuk:
1.
Parpol
Pragmatis ialah suatu partai yang mempunyai program
dan kegiatan yang tak terikat kaku pada suatu doktrin dan ideologi
tertentu. Artinya, perubahan waktu, situasi dan kepemimpinan akan juga mengubah
program, kegiatan dan penampilan parpol tersebut. Penampilan parpol pragmatis
cenderung merupakan cerminan dari program-program yang disusun oleh pemimpin
utamanya dan gaya kepemimpinan sang pemimpin. Partai pragmatis, biasanya muncul
dalam sistem dua partai berkompetisi yang relatif stabil. Contoh: Partai Demokrat dan Partai Republik di
AS.
2.
Parpol
Doktriner ialah suatu partai politik yang memiliki
sejumlah program dan kegiatan kongkrit sebagai penjabaran ideologi. Partai ini
biasanya terorganisasikan secara agak longgar. Hal ini tidak berarti partai
politik pragmatis tidak memiliki ideologi sebagai identitasnya. Dalam program
dan gaya kepemimpinan terdapat beberapa pola umum yang merupakan penjabaran
ideologi. Namun ideologi yang dimaksud lebih merupakan sejumlah gagasan umum
daripada sejumlah doktrin dan program kongkrit yang siap dilaksanakan. Ideologi
yang dimaksud ialah seperangkat nilai politik yang dirumuskan secara kongkrit
dan sistematis dalam bentuk program-program kegiatan yang pelaksanaannya
diawasi secara ketat oleh aparat partai. Pergantian kepemimpinan mengubah gaya
kepemimpinan pada tingkat tertentu, tetapi tidak mengubah prinsip dan program
dasar partai karena ideologi partai sudah dirumuskan secara kongkrit dan partai
ini terorganisasikan secara ketat. Partai Komunis di mana saja merupakan
contoh partai doktriner. Dan PKS pun sepertinya lebih dekat dengan klasifikasi
partai doktriner ini. Contoh:
Partai Komunis
3.
Parpol
Kepentingan merupakan suatu parpol yang dibentuk
dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis,
agama, atau lingkungan hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam
pemerintahan. Partai ini sering ditemui dalam sistem banyak partai, tetapi
kadangkala terdapat pula dalam sistem dua partai berkompetisi namun tak mampu
mengakomodasikan sejumlah kepentingan dalam masyarakat. Contoh: Partai HIjau di Jerman, Partai Buruh
di Australia, dan Partai Petani di Swiss.
Penggolongan partai berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan kepentingan menurut Ikhlasul Amal terdapat lima jenis parpol, yakni:
1.
Partai
Proto adalah tipe awal partai
politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini. Ciri yang
paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara kelompok anggota atau “ins”
dengan non-anggota “outs”. Selebihnya partai ini belum menunjukkan ciri sebagai
partai politik dalam pengertian modern. Karena itu sesungguhnya partai ini
adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi masyarakat.
2.
Partai Kader merupakan perkembangan lebih lanjut
dari partai proto. Keanggotaan partai ini terutama berasal dari golongan kelas
menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai ini adalah
konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat.
3.
Partai
Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap
sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta
pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa
berorientasi pada pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok
agama, dan memiliki ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta
mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya.
4.
Partai
Diktatorial, sebenarnya
merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi yang lebih kaku dan
radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap
pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai dilakukan
secara lebih selektif daripada partai massa.
5.
Partai
Catch-all, merupakan gabungan
dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali di kemukakan
oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan
karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai “menampung kelompok-kelompok
sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Tujuan utama partai ini
adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan
keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang kaku.
Menurut Richard S. Katz, membagi tipe parpol berdasarkan basis dukungannya, terbagi menjadi empat tipe, yaitu:
1. Partai Elit – Partai jenis ini berbasis lokal,
dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi
partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang
duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki
status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada
pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam
parlemen.
2. Partai Massa – Partai jenis ini berbasiskan
individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari
kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk
kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu,
seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai
lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau
kebijakan.
3. Partai Catch-All – Partai jenis ini di permukaan
hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang
mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir
bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini
berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu
di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai
Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.
4. Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akibat
berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada
suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut,
pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup
untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih
hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
5. Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok
sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan
partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga
berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat mereka menjadi
anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan
dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota
secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.
SISTEM KEPARTAIAN
Pembelajaran tentang
partai politik tidak cukup hanya mengklasifikasikan ukuran-ukuran tertentu.
Diperlukan juga pengamatan terhadap hubungan pola tingkah laku dari suatu
sistem. Sistem semacam ini lazim disebut dengan istilah sistem kepartaian (Party systems).
Menurut Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties, membagi sistem
kepartaian menjadi tiga kategori yaitu:[4]
1.
Sistem
Satu Partai (sistem partai tunggal), Sistem satu partai menunjukkan
bahwa dalam sebuah negara hanya terdapat satu buah partai yang dominan atau
merupakan partai satu-satunya dalam negara tersebut. Sistem kepartaian seperti
ini dinamakan non-kompetitif oleh karena partai-partai yang ada harus menerima
pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka
melawan partai itu. Contoh
Negara dengan sistem partai-tunggal: China, Kuba, Uni Soviet sebelum pecah.
2.
Sistem
Dwi-Partai, adalah sistem dimana dalam sebuah
negara hanya ada dua buah partai politik yang dominan. Biasanya dalam sebuah
negara tersebut ada lebih dari dua
buah
partai politik, namun hanya dua partai yang besar yang memainkan perannya
secara dominan dalam pemilihan.
Contoh Negara dengan sistem dwi-partai: Inggris, AS, Filipina, dan Kanada.
(Umumnya Negara-negara dengan sistem hukum anglo-saxon).
3.
Sistem
Multi
Partai, Sistem banyak partai menunjukkan
bahwa suatu negara terdapat lebih dari dua partai politik yang dominan. Pada
umumnya negara yang menganut sistem banyak partai adalah negara yang
masyarakatnya bersifat majemuk. Kemajemukan masyarakat dapat ditunjukkan dengan
terdapatnya bermacam-macam perbedaan sosial, seperti ras, suku, agama dan
status. Contoh negara
penganut sistem Multi Partai: Indonesia, Malaysia, Belanda, dan Prancis.
Sistem kepartaian menurut Giovani Sartori, 1996, ada beberapa jenis sistem kepartaian yaitu:
1.
Sistem satu
partai (one party system)
2.
Sistem
hegemoni (hegemonic system)
3.
Sistem
predominan (predominant system)
4.
Sistem dua
partai (two party system)
5.
Pluralisme
terbatas (limited pluralism)
6.
Pluralisme
ekstrem (extreme pluralism)
7.
Sistem atomisasi
(atomized system)
Adapun di Indonesia beberapa sistem kepartaian yang dikenal antara lain:
1.
Partai Islam
tertutup (keanggotaannya lebih diutamakan penduduk beragama islam). Misal: PPP,
PBB, PKS.
2.
Partai Islam
terbuka (berbasis kultur Islam dan organisasi massa Islam, tetapi proses
rekrutmen anggota bersifat terbuka). Misal: PAN (Muhammadiyah), PKB (NU).
3.
Partai
kebangsaan yang berwatak pluralism dan netral agama. Misal: PDIP, Golkar,
Demokrat.
4.
Partai-partai
kecil: non-islam berbasis agama. Misal: PDS. Partai aliran kiri, missal: PRD.
Berdasarkan hukum positif yang berlaku yaitu UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pembentukan partai politik diatur pada Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik yaitu bahwa pendirian partai politik harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM dengan syarat:[5]
1.
Memiliki
akta notaries pendirian partai politik.
2.
Didirikan
dan dibentuk sekurang-kurangnya 50 warga negara Republik Indonesia yang telah
berusia 21 tahun dengan akta notaries.
3.
Mempunyai
kepengurusan paling sedikit 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah
Kabupaten/Kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah
kecamatan pada setiap Kabupaten/Kota pada daerah yang bersangkutan
4.
Memiliki
nama, lambang, tanda gambar yang tidak mempunyai persaman pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambing dan tanda gambar yang telah dipakai secara
sah oleh partai politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.
Mempunyai
kantor tetap.
6.
Memiliki
rekening atas nama partai politik.
UU No. 2 Tahun 2008 mengatur tentang pembubaran partai politik yaitu bahwa partai politik itu bubar apabila:[6]
1.
Membubarkan
diri atas keputusan sendiri
2.
Menggabungkan
diri dengan partai politik lain, atau
3.
Dibubarkan
oleh Mahkamah Konstitusi
Selama ini MK belum pernah menerima permohonan pembubaran partai politik.
Tata cara atau prosedur pengajuan permohonan pembubaran partai politik alas
an-alasan, para pihak yang boleh mengajukan permohonan pembubaran partai
politik di atur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.[7]
KESIMPULAN
Dalam hal ini, Partai Politik merupakan saluran aspirasi bagi rakyat yang penting bagi sebuah Negara.
Keberadaan partai politik dalam kehidupan bernegara adalah suatu keniscayaan
utamanya bagi Negara yang demokrasi sebagai salah satu pilar penting untuk
mewujudkan Negara yang madani. Serta memiliki fungsi dan klasifikasi yang
berbeda-beda tergantung pada kondisi Negara tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Ichlasul Amal. 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik
Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana
Khelda Ayunita, S.H., M.H. dan Abd. Rais Asman, S.H.,
M.H. 2016 Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media.
Miriam Budiardjo, 1985. Dasar-Dasar Ilmu Politik,. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.
[1] Friedrich, Constitutional Government and Democrary, Hal. 419
[2] Sigmund Neumann. Modern Political
Parties, dalam Comparative Politics: A Reader, diedit oleh Harry dan David
E.Apter, London: The Press of Glencoe, 1963, Hal. 352.
[3]
Ichlasul Amal. 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi
Revisi. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana
[4] Miriam Budiardjo, 1985. Dasar-Dasar Ilmu Politik,. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
[5] Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008.
[6] UU No. 2 Tahun 2008
[7]
Khelda Ayunita, S.H., M.H. dan
Abd. Rais Asman, S.H, M.H., Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Mitra Wacana Media, 2016, hlm. 119-134.